Media90 – Para ekportir lada hitam Lampung yang tergabung dalam Asosiasi Eksportir Lada Indonesia (AELI) memberikan dukungan untuk memperbaiki tata niaga lada hitam Lampung guna memberikan manfaat bagi semua pihak yang terlibat, termasuk petani.
Namun, mereka juga mengingatkan bahwa harga lada ditentukan oleh pasar internasional.
Ketua AELI Lampung, Sumita, menyatakan, “Lada merupakan komoditas yang dapat diperjualbelikan secara bebas dan tidak terpaku pada eksportir. Masih terdapat penjualan dalam negeri dan antar pulau yang aktif. Oleh karena itu, pasar lada tidak berbentuk oligopoli, melainkan berlangsung dalam perdagangan bebas. Kita masih bersyukur bahwa tujuh eksportir di Lampung masih dapat bertahan di tengah gempuran Vietnam dan Brazil.”
Pernyataan tersebut merespons pernyataan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Kanwil II yang menyebutkan bahwa struktur industri lada hitam Lampung cenderung oligopoli karena hanya dikuasai oleh tujuh eksportir.
Saat ini, KPPU Kanwil II sedang melakukan penelitian untuk melihat apakah ada hambatan dalam tata niaga lada hitam Lampung yang disebabkan oleh praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat.
Sumita menanggapi hal ini dengan menyatakan bahwa ia tidak melihat adanya oligopoli dalam industri lada Lampung karena tidak ada pengaturan harga.
Selain itu, eksportir dari Pulau Jawa juga turut mengambil lada dari Lampung.
Ia menjelaskan, “Saat ini, Brazil dan Vietnam menjadi pasar utama lada di dunia. Brazil mengekspor sekitar 100 ribu ton lada, sementara Vietnam mengekspor sekitar 200 ribu ton. Sementara itu, produksi lada Lampung hanya mencapai 15 ribu ton per tahun. Total produksi lada Indonesia sekitar 55 ribu ton, termasuk lada putih dari Bangka, Kalimantan, dan Sulawesi. Ini merupakan persaingan bebas, di mana ada yang berani menjual kontrak berjangka dan ada yang tidak.”
Sumita menjelaskan bahwa kondisi perdagangan lada saat ini adalah pasar pembeli (buyers market) karena pembeli yang menentukan harga.
Negara-negara anggota The International Pepper Community (IPC), termasuk Indonesia, Malaysia, India, Brazil, Vietnam, dan Sri Lanka, hanya memantau pergerakan harga di negara-negara produsen lada.
“Dalam hal ini, pembeli tetap yang menentukan harga. Indonesia saat ini menjadi pengikut (follower) yang mengikuti keputusan pembeli.
Vietnam dan Brazil menjadi pengikut karena mereka menyumbangkan lebih dari 50% suplai lada ke pasar dunia,” tambah Sumita.
Dalam upaya mendorong industri lada hitam Lampung, Sumita menegaskan bahwa KPPU hanya melihat keberadaan tujuh eksportir, tetapi seharusnya juga memperhatikan produktivitas petani lada hitam Lampung yang hanya mencapai 0,5 ton per hektar.
Ia membandingkannya dengan produktivitas petani lada di Vietnam dan Brazil yang mencapai sekitar 2 ton per hektar.
“Harga lada asal Vietnam dan Brazil lebih bersaing. Oleh karena itu, untuk mengembalikan kejayaan rempah-rempah, terutama lada, kita harus meningkatkan produktivitas menjadi 1 ton per hektar.
Hal ini merupakan tugas bersama, terutama pemerintah daerah, untuk terus meningkatkan produktivitas rempah-rempah,” ungkap Sumita, yang juga merupakan Anggota Dewan Rempah Indonesia (DRI) Provinsi Lampung.
Saat ini, sentra produksi lada hitam Lampung terdapat di Lampung Timur, Lampung Utara, dan Tanggamus.
Luas lahan yang digunakan untuk pertanaman lada mencapai 45.643 hektar dengan jumlah produksi sekitar 15.229 ton.
Namun, produksi lada hitam Lampung saat ini menghadapi konversi menjadi komoditas lain seperti jagung, singkong, dan kakao yang dinilai lebih menguntungkan bagi petani.