Media90 – Puluhan petani di Register 45 Mesuji, Lampung, telah menyatakan kekecewaannya terhadap kemitraan yang dijalin dengan PT Silva Inhutani.
Para petani mengaku merasa dirugikan karena kurangnya transparansi mengenai hasil panen yang mereka terima.
Program kemitraan ini, yang digagas oleh Kementerian Kehutanan melalui Kelompok Pengelola Hutan (KPH) Sungai Buaya, dimaksudkan untuk menyelesaikan konflik agraria di wilayah tersebut. Namun, realitanya justru berbeda dari harapan.
Nyoman Sayur, salah satu petani dari Marga Jaya, mengungkapkan bahwa ia telah terlibat dalam program ini sejak tahun 2015 dengan menanam tiga jenis komoditas: kayu albasia, singkong, dan tebu.
Ia menjelaskan, untuk kayu yang ditanam sejak 2015 dan sudah 9 tahun kemudian dipanen, hasilnya tidak pernah dilaporkan secara transparan.
“Petani tidak tahu berapa kubik kayu yang dipanen dan berapa hasil dari penjualannya. Semua dipanen oleh PT Silva tanpa laporan yang jelas,” keluh Nyoman pada Kamis (19/9/2024).
Hal serupa juga terjadi pada komoditas singkong. Meskipun sudah beberapa kali panen sejak 2015, petani belum pernah menerima laporan tentang hasil panen dan bagi hasil yang sesuai.
Untuk tebu yang dipanen pada tahun 2023, pendapatan yang didapat petani jauh dari memadai. Nyoman mengungkapkan, “Pendapatan dari tebu untuk satu hektare hanya berkisar antara Rp1-2 juta per tahun. Jumlah ini tidak mencukupi kebutuhan hidup keluarga petani.”
Kekecewaan yang sama juga dirasakan oleh masyarakat Sido Rukun. Program kemitraan yang dijanjikan akan memberikan keamanan ternyata juga penuh masalah.
Seorang tokoh masyarakat Sido Rukun, yang meminta identitasnya dirahasiakan, melaporkan adanya tindakan premanisme dan ancaman terhadap petani, termasuk pengambilalihan lahan secara paksa oleh oknum tertentu.
“Aparat negara dan pemerintah cenderung melakukan pembiaran, sehingga petani menjadi korban,” katanya.
Nyoman Sayur menegaskan bahwa masyarakat Marga Jaya dan Sido Rukun menolak kemitraan dan segala bentuk kerjasama perhutanan sosial.
“Kami sudah lelah dengan janji-janji kosong tentang kesejahteraan. Selama 9 tahun ini, yang kami dapatkan bukan kesejahteraan, tetapi kesulitan hidup,” tegasnya.
Syahrul Sidin, dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), menyarankan agar pemerintah daerah dan KPH Sungai Buaya menghentikan program kemitraan dan perhutanan sosial.
Menurut Syahrul, negara perlu menilai kembali apakah program ini benar-benar menyelesaikan konflik agraria atau hanya menunda masalah yang lebih besar di masa depan.
“Praktik kemitraan selama 9 tahun ini hanya menyisakan luka dan kesengsaraan bagi petani. Sudah wajar jika mereka menolak kemitraan dan perhutanan sosial,” ujarnya.
Kesepakatan kemitraan antara penggarap, pemukim, dan PT Silva Inhutani ditandatangani pada 30 September 2015.
Saat itu, tujuh desa terlibat dalam program ini, termasuk Marga Jaya, Tugu Roda, Karya Jaya, Karya Tani, Maju Jaya, Sido Rukun, dan Mekar Jaya.