IQRA

Mendalami Ayat Mutasyabihat: Menjaga dari Pengaruh Musyabbihah dan Mujassimah

289
×

Mendalami Ayat Mutasyabihat: Menjaga dari Pengaruh Musyabbihah dan Mujassimah

Sebarkan artikel ini
Mendalami Ayat Mutasyabihat Menjaga dari Pengaruh Musyabbihah dan Mujassimah
Mendalami Ayat Mutasyabihat Menjaga dari Pengaruh Musyabbihah dan Mujassimah

Media90 (media.gatsu90rentcar.com) – Pernahkah Anda mendengar aliran musyabbihah dan mujassimah? Jika belum, penting bagi Anda untuk memahami kedua aliran ini.

Aliran musyabbihah meyakini bahwa Tuhan memiliki bentuk serupa dengan makhluk-Nya.

Mereka menganggap bahwa Allah memiliki jenis kelamin, kaki, rambut, dan tubuh yang sama persis dengan manusia.

Namun, pandangan semacam ini jelas tidak sesuai dengan ajaran agama Islam.

Sementara itu, aliran mujassimah meyakini bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang menyerupai manusia.

Mereka berpendapat bahwa Allah duduk di atas singgasana langit, memiliki istana, kerajaan, dan rumah.

Dalam memahami agama, baik aliran musyabbihah maupun mujassimah cenderung menafsirkan ayat-ayat dan hadits berdasarkan nalar otak mereka sendiri.

Hal ini sangat berbahaya bagi kesehatan iman mereka. Serupa dengan pandangan-pandangan ini, kita juga dapat menemukannya dalam kehidupan agama Nasrani dan Yahudi.

Setiap agama memiliki cara beribadah yang berbeda-beda. Sebagai umat Islam, kita seharusnya memiliki standar sendiri dalam beragama, yang didasarkan pada tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Keberadaan aliran musyabbihah dan mujassimah didasarkan pada kecenderungan mereka terhadap ayat-ayat dan hadits mutasyabihat daripada ayat-ayat mukhathamat.

Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan ayat mukhathamat dan ayat mutasyabihat? Mari kita pelajari lebih lanjut.

Ayat mukhathamat adalah ayat yang jelas dan tidak memerlukan tafsir yang mendalam. Anda dapat langsung mengaplikasikannya dalam kehidupan tanpa takut dianggap sesat atau hal lainnya.

Para ulama sepakat bahwa pengaplikasian ayat-ayat mukhathamat diperbolehkan dan halal.

Contohnya adalah kewajiban berpuasa dari terbit fajar hingga maghrib. Hukum ini sudah jelas dan seterang matahari di siang hari.

Sementara itu, ayat mutasyabihat adalah ayat yang memiliki majas atau perumpamaan.

Ayat dan hadits semacam ini tidak bisa ditafsirkan secara sembarangan karena memiliki makna yang di luar jangkauan akal manusia.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam telah memperingatkan bahwa siapa pun yang menafsirkan dan menyebarkan penafsiran atas ayat mutasyabihat berdasarkan akal sendiri, pasti termasuk dalam kesesatan.

Dengan kata lain, tidak perlu mengikuti penafsiran semacam ini.

Jika Anda diberi pilihan antara menggunakan ayat mukhathamat atau ayat mutasyabihat, saran terbaik adalah memilih ayat mukhathamat. Ayat yang jelas tidak membawa risiko apapun.

Salah satu permasalahan yang berkaitan dengan ayat mutasyabihat adalah kontroversi mengenai keberadaan Allah di langit.

Polemik ini telah lama dibahas oleh para ulama dan ahli tafsir. Namun, kesepakatan yang tercapai tidak dapat dijadikan pegangan, karena hanya Allah yang mengetahui.

Salah satu hadits yang sering muncul dalam pembahasan mengenai keberadaan Allah di langit adalah hadits berikut: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bertanya kepada seorang hamba perempuan, ‘Di mana Allah berada?’ Perempuan itu menjawab, ‘Di langit.’

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bertanya lagi, ‘Siapakah aku?’ Hamba perempuan itu menjawab, ‘Engkau adalah utusan Allah.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam kemudian berkata, ‘Bebaskanlah dia, dia adalah seorang yang beriman’.” (HR. Muslim)

Hadits di atas tidak bisa dijadikan patokan begitu saja. Hal ini melibatkan banyak hal, terutama dalam hal keimanan seseorang.

Untuk lebih memahami hadits ini, mari kita simak dua pendapat dari ulama berikut:

  1. Imam An-Nawawi cenderung mengutip pendapat Al-Qadhi ‘Iyadh yang didasarkan pada ayat dalam Al-Qur’an Surah Al-Mulk ayat 16, “Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang berkuasa di langit, bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersamamu?” Hal ini menunjukkan bahwa hadits tersebut tidak dapat diambil secara tekstual semata, tetapi perlu ditafsirkan terlebih dahulu.
  2. Sementara itu, Imam As-Suyuti meyakini bahwa makna hadits tersebut sepenuhnya tergantung pada Allah Subhanahu Wata’ala. Hal ini dikarenakan beliau ingin menjaga kesucian Allah Subhanahu Wata’ala dan tidak terjerumus dalam pembahasan lanjutan. Ini serupa dengan ketika kita melaksanakan shalat menghadap kiblat. Hal ini bukan berarti Allah berada di kiblat, tetapi karena telah ditetapkan demikian. Pertanyaan mengapa dan lainnya tidak bisa ditanyakan. Ini berkaitan dengan hal-hal yang diragukan.

Pengaruh keraguan dalam agama Islam sangatlah besar. Jika dibiarkan, ini dapat menjadi dosa besar yang mengantarkan penafsirnya menuju neraka.

Keraguan dapat meragukan kedudukan Allah Subhanahu Wata’ala dan pada akhirnya menggerus keimanan. Inilah langkah-langkah setan dalam mempengaruhi jiwa manusia.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menyadari bahaya aliran musyabbihah dan mujassimah yang menyusup seperti jarum di antara benang-benang.

Mereka mencoba mempengaruhi sensor memori di otak kita. Begitu otak terpengaruh, seluruh tubuh akan terkena dampaknya. Na’udzubillah.

Oleh karena itu, lebih baik memilih ayat mukhathamat daripada mutasyabihat karena akan memudahkan kita dalam memahami Islam dengan baik.

Dalam menjalani kehidupan beragama, kita perlu mengandalkan ayat-ayat yang jelas dan terang, serta menghindari penafsiran yang dapat membawa kita pada kesesatan.

Memahami Islam dengan benar adalah langkah penting untuk mempertahankan keimanan dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wata’ala.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *