IQRA

Memahami dan Menerapkan Hadits Dhaif yang Bermanfaat: Definisi, Ragam, dan Ilustrasi

317
×

Memahami dan Menerapkan Hadits Dhaif yang Bermanfaat: Definisi, Ragam, dan Ilustrasi

Sebarkan artikel ini
Memahami dan Menerapkan Hadits Dhaif yang Bermanfaat Definisi, Ragam, dan Ilustrasi
Memahami dan Menerapkan Hadits Dhaif yang Bermanfaat Definisi, Ragam, dan Ilustrasi

Media90 (media.gatsu90rentcar.com) – Secara bahasa, “dhaif” berarti lemah. Dalam konteks hadits, dhaif merujuk pada hadits yang memiliki kelemahan dalam riwayat sanadnya atau mengandung cacat pada perawinya.

Meskipun jenis hadits ini telah sering ditekankan, baik oleh kiai maupun dai, penggunaannya terus berlanjut.

Namun, perlu diingat bahwa penggunaan hadits dhaif seharusnya tidak mengesampingkan atau bahkan menghilangkan keberadaan hadits shahih dan hasan.

Kedua jenis hadits ini jauh lebih baik untuk diamalkan daripada hadits dhaif.

Mari kita analogikan dengan tinggal di dalam sebuah rumah.

Apakah Anda akan memilih tinggal di dalam rumah dengan dinding yang keropos, lantai yang rusak, dan atap yang rapuh, di mana Anda tidak dapat menjamin apakah rumah tersebut akan roboh besok?

Pada saat itu, tidak hanya Anda yang terkena dampaknya, tetapi juga keluarga Anda yang terancam keselamatannya.

Lebih baik jika Anda tinggal di dalam rumah yang memiliki tiang kokoh, dinding dan atap yang kuat serta tahan lama, dan dilengkapi dengan perlengkapan rumah tangga yang lengkap.

Dalam kondisi seperti ini, Anda dan keluarga tidak hanya aman saat ini, tetapi juga dalam jangka waktu yang lebih lama.

Macam-macam Hadits Dhaif

Ada beberapa alasan mengapa sebuah hadits dapat dikategorikan sebagai dhaif, dan salah satunya adalah karena terdapat cacat pada perawinya.

Baca Juga:  Tindakan-tindakan Bid'ah yang Mencemari Agama

Hal ini dapat menyebabkan banyak hal yang tidak diinginkan ketika hadits tersebut diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Berikut beberapa contohnya:

  1. Hadits Maudhu
    Hadits maudhu’ adalah hadits yang dibuat oleh seseorang tanpa dasar yang kuat, sehingga dapat menimbulkan kontroversi. Hadits ini tidak dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari karena sumbernya berasal dari orang yang tidak jujur dan kemudian diatribusikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam untuk kepentingan tertentu. Salah satu contoh pendusta terkenal adalah Ziyad ibnu Maimun.
  2. Hadits Matruk
    Hadits matruk berasal dari seseorang yang diduga suka berdusta. Kehadiran hadits dari seorang pendusta tidak diakui karena dapat menimbulkan keraguan, terutama bagi kita yang hidup jauh dari masa tersebut. Salah satu perawi yang termasuk dalam kategori ini adalah Juwaibir ibnu Sa’id.
  3. Hadits Munkar
    Hadits munkar berasal dari perawi yang dhaif atau tidak memiliki kepercayaan yang baik. Kelemahan ini tidak hanya terbatas pada sanad (rantai perawi), tetapi juga pada matan (isi hadits) itu sendiri.
  4. Hadits Mubham
    Hadits ini tidak dapat diikuti karena tidak menyebutkan nama perawi, baik laki-laki maupun perempuan. Hadits yang tidak jelas asal-usulnya sulit diterima oleh masyarakat.

Contoh Hadits Dhaif yang Boleh Diamalkan

Meskipun demikian, pengamalan hadits dhaif tidak sepenuhnya dikecam.

Baca Juga:  Qunut Subuh: Bacaan Doa Lengkap, Pendek, Latin, dan Maknanya yang Menyentuh

Namun, penggunaannya perlu dilakukan dengan pertimbangan yang matang, tanpa sembarangan.

Berikut adalah beberapa kriteria yang disarankan oleh Imam As-Suyuti agar hadits dhaif dapat diamalkan dengan benar:

  1. Tidak Menyangkut Aqidah
    Hadits dhaif yang membahas tentang sifat-sifat Allah Subhanau Wata’ala tidak boleh dijadikan patokan. Jika hadits lemah digunakan untuk memvonis seseorang bersalah hanya berdasarkan sifat-sifat Allah, bukan hanya pendapatnya yang menjadi lemah, tetapi juga kualitas hadits tersebut. Mengikuti pendapat semacam ini dapat merugikan banyak orang, terutama dalam hal keberlanjutan kualitas iman.
  2. Bukan Hukum Halal dan Haram
    Hadits lemah tidak dapat digunakan untuk menentukan hukum halal dan haram terkait makanan. Karena makanan yang dikonsumsi akan mempengaruhi seluruh tubuh, jika tubuh terpengaruh, keadaan jiwa seseorang juga akan terpengaruh. Oleh karena itu, menggunakan hadits lemah sebagai dasar untuk menentukan hukum makanan tidak memberikan hasil yang baik bagi kehidupan yang berkualitas.
  3. Tidak Terlalu Lemah
    Hadits yang terlalu lemah tidak dianjurkan untuk diikuti, karena perawinya dituduh sebagai pendusta dan memiliki banyak kekeliruan dalam meriwayatkan hadits. Hadits yang terlalu lemah seperti ini sangat kompleks dan lebih dari 90% tidak dianjurkan untuk diikuti karena berpotensi menyesatkan orang yang mengamalkannya.
  4. Mengacu pada Hadits Shahih
    Hadits shahih adalah hadits yang memiliki kebenaran dan manfaat yang terjamin. Oleh karena itu, hadits shahih lebih diutamakan daripada hadits lainnya. Namun, jika Anda ingin mengamalkan hadits dhaif, sebaiknya pilih hadits yang memiliki dukungan dari hadits shahih agar terhindar dari kemungkinan yang buruk.
  5. Tidak Berbentuk Peringatan Kehati-hatian
    Panduan dalam agama haruslah mutlak. Jika ada hadits yang bertujuan untuk mengajarkan kehati-hatian terhadap sesuatu, lebih baik untuk mengabaikannya. Lebih baik mengamalkan hadits yang meningkatkan keyakinan kita terhadap Allah dan Rasulullah. Namun, jika Anda menemukan hadits dhaif yang memenuhi kriteria di atas, tidak ada masalah dalam mengamalkannya.
Baca Juga:  Penafsiran Ahlussunnah wal Jama'ah terhadap Hukum Isbal

Salah satu contoh hadits dhaif yang terkenal adalah, “Beramallah untuk dunia seakan hidup selamanya dan beramallah untuk akhirat seakan esok engkau mati.”

Hadits ini bukan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam. Hadits ini dianggap dhaif karena perawinya terputus antara rawi dari sahabat dengan Abdullah bin Amr.

Penutup

Keterpisahan waktu antara kehidupan kita dengan kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam telah menyebabkan banyak orang mengikuti hadits-hadits yang sebenarnya dhaif secara buta.

Namun, penting untuk diingat bahwa keabsahan hadits, baik shahih maupun dhaif, tetap tergantung pada upaya menjaga keaslian dan kebenarannya oleh para perawat hadits.

Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian yang teliti dan kritis terhadap hadits-hadits sebelum mengambil keputusan dalam mengamalkannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *