Media90 – Dewan Pakar Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Provinsi Lampung, Juniardi SIP SH MH, mengingatkan Polresta Bandar Lampung untuk memahami Memorandum of Understanding (MoU) antara Polri dan Dewan Pers terkait penanganan sengketa pemberitaan.
Menurutnya, penyidik kepolisian tidak boleh melakukan proses berita acara pemeriksaan (BAP) terhadap wartawan terkait karya jurnalistik yang dihasilkan.
“Karya jurnalistik beserta narasumber berita adalah bagian tak terpisahkan. Karena itulah, keduanya tak bisa dikriminalisasi. Baik berita karya jurnalistik maupun narasumber tak boleh dikriminalisasi,” ujar Juniardi di Bandar Lampung, Selasa (11/2/2025).
Pernyataan mantan jurnalis Lampung Post itu merespons laporan seorang pejabat Dinas Sosial Pemerintah Kota (Pemkot) Bandar Lampung yang melaporkan media tintainformasi.com atas dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) atau kasus pencemaran nama baik.
“Kita sudah ada MoU dengan Kapolri, Kejaksaan Agung, dan Panglima TNI terkait pengaduan terhadap karya jurnalistik. Jika ada pengaduan wartawan ke polisi, maka kasus tersebut harus dikonsultasikan terlebih dahulu dengan Dewan Pers. Jangan sampai kasus ini justru menambah daftar buruk indeks kemerdekaan pers di Lampung,” ujar Juniardi.
Ia juga menekankan pentingnya sosialisasi dan pemahaman mengenai MoU tersebut oleh seluruh pihak terkait, khususnya penyidik kepolisian.
Hal ini bertujuan agar mereka memiliki pemahaman yang sama tentang fungsi dan peran wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.
“Tidak ada proses BAP, termasuk menanyakan nama, alamat, dan informasi pribadi wartawan. Jika wartawan dipanggil, itu sebatas menyerahkan karya jurnalistik yang ditulisnya. Bahkan jika dipanggil sebagai saksi di pengadilan, wartawan berhak menolak, dan tidak dapat dipanggil paksa oleh pengadilan,” kata mantan Ketua Komisi Informasi Provinsi Lampung itu.
Alumni Magister Hukum Universitas Lampung (Unila) ini juga meminta aparat penegak hukum untuk tidak memanggil wartawan atau redaktur guna dimintai keterangan terkait persoalan hukum yang menyangkut karya jurnalistik.
“Dalam standar perlindungan wartawan yang diratifikasi oleh Dewan Pers, pihak yang bertanggung jawab dalam perkara terkait karya jurnalistik adalah penanggung jawab media,” jelasnya.
Pemimpin Redaksi sinarindonesia.id dan sinarlampung.co ini menambahkan bahwa yang dimaksud dengan penanggung jawab media adalah pimpinan umum, pimpinan redaksi, atau pimpinan perusahaan.
“Jadi, polisi atau pengadilan seharusnya memanggil pimpinan umum, pimpinan redaksi, atau pimpinan perusahaan jika ada masalah hukum yang menyangkut pers. Bukan wartawan atau redaktur,” tegasnya.
Menurutnya, jika keterangan wartawan dibutuhkan, maka yang ditanyakan hanya seputar isi pemberitaan, bukan hal-hal di luar materi jurnalistik.
Juniardi juga menyoroti praktik di Amerika Serikat, di mana polisi dapat memanggil wartawan, tetapi harus membuktikan bahwa keterangan wartawan tersebut merupakan satu-satunya cara untuk mengungkap suatu skandal.
“Itu konvensi di Amerika. Tapi dalam standar perlindungan wartawan yang diratifikasi, penanggung jawab media adalah pihak yang harus bertanggung jawab,” katanya.
Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa negara juga bertanggung jawab dalam memberikan perlindungan kepada wartawan yang menjadi korban kekerasan.
“Selama ini, negara cenderung melakukan pembiaran terhadap kekerasan yang menimpa wartawan, seperti kasus wartawan Bernas Udin yang belum tuntas hingga 14 tahun berlalu. Negara masih gagal memberikan keadilan kepada wartawan,” ungkapnya.
Juniardi menekankan bahwa Dewan Pers memiliki empat ratifikasi utama, yakni standar perusahaan pers, standar kompetensi wartawan, kode etik jurnalistik, dan standar perlindungan profesi wartawan.
Standar perusahaan pers mewajibkan perusahaan untuk membayar upah wartawan minimal setara upah minimum provinsi (UMP) dan diberikan sebanyak 13 kali dalam setahun, termasuk Tunjangan Hari Raya (THR).
Selain itu, perusahaan pers juga bertanggung jawab memberikan perlindungan hukum bagi wartawan di lapangan serta menyediakan pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan profesionalisme mereka.
“Pelatihan itu penting. Misalnya, wartawan yang ditugaskan di wilayah konflik harus mendapatkan pelatihan jurnalisme damai. Pelatihan dasar juga wajib diberikan guna menentukan standar kompetensi wartawan,” pungkasnya.