Media90 – Acara wisuda lulusan S1 dan Ahli Madya Universitas Teknokrat Indonesia (UTI) periode I tahun 2024 memiliki keunikan tersendiri.
Tiga wisudawan, yakni Nova Istiqomah, S.Kom, Nur Faqih Ardiantoro, S.Kom, dan Selvia Ranti, S.Kom, memberikan pidato dalam tiga bahasa: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Bahasa Lampung.
Ketiganya mengangkat tema tentang peran Artificial Intelligence (AI) dalam dunia pendidikan tinggi. Dalam pidatonya, para wisudawan menjelaskan bahwa produk AI seperti Chat GPT menawarkan banyak peluang dalam proses pendidikan di perguruan tinggi.
Faqih, dalam orasinya di Gelanggang Mahasiswa Dr. HM. Nasrullah Yusuf pada Kamis (25/7/2024), mengatakan bahwa AI memudahkan penyelesaian pekerjaan yang dahulu harus dilakukan dengan cara manual seperti fotokopi buku, mengunjungi perpustakaan, atau menggunakan warnet.
“Kita beruntung di zaman ini lebih mudah menyelesaikan pekerjaan kita. Bayangkan di zaman orang tua dulu, di mana belajar harus fotokopi buku, harus ke perpustakaan, harus ke warnet dan segala keterbatasannya untuk belajar dan sukses. Di tengah keterbatasan ini, mereka orang tua melihat ini sebagai perjuangan,” kata Faqih.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa kemudahan dari AI jangan sampai membuat manusia menjadi malas, lemah berpikir, dan ketergantungan.
“Harus sama-sama berjuang dari segala kemudahan yang membuat kita berhenti belajar. Ketika kita berhenti belajar mengeksplor AI dan hal-hal baru lainnya, kita akan tertinggal. Di luar ruangan ini ada orang yang sama-sama memperebutkan pekerjaan dari kampus lain dari daerah lain. Ada logika berpikir yang harus kita kembangkan dan ada situasi di mana AI tidak menyelesaikan segalanya,” ujarnya.
Faqih mengajak semua untuk menjadikan AI sebagai alat belajar, membantu pekerjaan, dan terus berpikir kritis sebagai manusia terdidik.
“Jika kita bisa terapkan ini, kita akan menjadi generasi yang tidak menyusahkan bangsa, yang justru bisa berkontribusi dari FTIK untuk kemajuan teknologi pertanian, teknologi kelautan, teknologi kesehatan, dan teknologi pendidikan kita di masa depan,” jelasnya.
Dalam konteks pendidikan, AI dapat digunakan untuk membuat konten pendidikan, personalisasi pengalaman belajar, serta peningkatan keterlibatan mahasiswa. Dengan demikian, proses pembelajaran dapat berjalan lebih efektif dan efisien.
Bagi pengajar, teknologi ini dapat membantu dalam perancangan rencana pembelajaran, penyiapan materi ajar, penilaian tugas, serta pemberian umpan balik, sehingga aktivitas rutin dapat dilakukan lebih mudah.
Pada bidang penelitian akademik, AI dapat membantu peneliti dalam menelurkan jalan penelitian secara metodologis, mulai dari identifikasi masalah hingga tahap analisis.
Selain itu, AI juga dapat digunakan untuk meninjau dan mengkritisi artikel yang ditulis dalam sebuah penelitian.
Namun, Faqih menegaskan bahwa ada risiko etis yang harus ditanggung dari penerapan teknologi AI dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi. Salah satu risiko tersebut adalah tindakan plagiarisme.
Plagiarisme, yang mencakup perilaku menyimpang seperti mencontek, pemalsuan data penelitian, hingga kolaborasi menyimpang, merupakan pelanggaran serius dalam kultur akademis.
“Dalam hal kolaborasi menyimpang, mahasiswa atau dosen kerap meminta bantuan pihak lain untuk menyelesaikan karya tulis, lantas mendaku tulisan tersebut sebagai karya orisinal miliknya. Sehingga, fungsi dari pendidikan tinggi untuk mencetak kaum intelektual yang cerdas, terampil, dan berakhlak mulia menjadi terdegradasi,” jelas Faqih.
Oleh karena itu, pemanfaatan AI dalam lingkup pendidikan tinggi perlu dicermati secara mendalam.
Situasi ini berpotensi menambah pekerjaan rumah bagi para pendidik dalam mengevaluasi perkembangan peserta didik, demi mencetak generasi emas yang berintegritas dan berdaya saing.