Media90 – Gubernur Lampung Arinal Djunaidi tidak mengindahkan surat dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya mengenai imbauan untuk mencabut Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020.
Arinal terpilih sebagai Gubernur Lampung berkat sokongan dan dukungan Sugar Group Companies (SGC) yang memiliki kebun tebu di Tulang Bawang.
Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020, yang diubah dengan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 19 Tahun 2023, mengatur tentang Tata Kelola Panen dan Produktivitas Tanaman Tebu.
KLHK mencatat setidaknya ada dua perusahaan tebu di Lampung yang terindikasi melakukan pemanenan tebu dengan cara dibakar, yakni PT Sweet Indo Lampung (SIL) dan PT Indo Lampung Perkasa (ILP).
Pada tahun 2021, luas lahan tebu yang dibakar oleh perusahaan SIL dan ILP mencapai 5.469 hektare, sedangkan pada tahun 2023 mencapai 14.492 hektare.
Kedua perusahaan tebu tersebut berlindung di balik Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020.
Karena itu, Menteri KLHK mengirim surat ke Gubernur Lampung untuk mencabut peraturan tersebut.
Namun, surat tersebut tidak direspon oleh Arinal. KLHK bersama masyarakat kemudian menempuh jalur hukum melalui permohonan uji materiil ke Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung mengabulkan permohonan uji materiil tersebut dan memerintahkan agar Peraturan Gubernur Lampung Nomor 19 Tahun 2023 dicabut.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK, Rasio Ridho Sani, menegaskan bahwa praktik pemanenan tebu melalui pembakaran adalah ilegal karena melanggar perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
“Panen dengan cara dibakar tidak diizinkan. Banyak cara lain untuk panen, salah satunya menggunakan mekanik,” kata Rasio Ridho Sani di Jakarta, Senin (20/5/2024).
Rasio menuturkan, meski perusahaan berdalih bahwa kegiatan membakar lahan tebu diperbolehkan melalui peraturan gubernur, hal tersebut tidak serta merta melegalkan praktik tersebut karena regulasi tertinggi adalah undang-undang.
Menurut dia, regulasi pemerintah pusat seperti Undang-Undang Lingkungan Hidup maupun Undang-Undang Perkebunan secara jelas melarang praktik pemanenan dengan cara dibakar.
“Banyak cara yang lebih berkelanjutan untuk lingkungan. Tindakan memanen tebu dengan cara dibakar merugikan lingkungan hidup, merugikan masyarakat, dan merugikan negara,” kata Rasio.
Direktur Penanganan Pengaduan, Pengawasan, dan Sanksi Administrasi KLHK, Ardyanto Nugroho, menambahkan bahwa dalih pembakaran lahan untuk menyuburkan tanah tidak sepenuhnya benar.
Menurutnya, dalam jangka pendek, tanah memang menjadi subur karena peningkatan tingkat keasaman atau pH tanah. Namun, jika praktik pembakaran dilakukan dalam jangka panjang, kualitas tanah justru akan menurun dan merusak lingkungan.
“Kami memiliki tiga instrumen penegakan hukum, yakni sanksi administrasi, pidana, dan perdata. Kami masih mengkaji instrumen mana yang akan kami gunakan untuk menghadapi kondisi ini apakah dari salah satu instrumen atau ketiganya kami maksimalkan,” pungkas Ardyanto.