Media90 – Seorang pria berinisial AMA asal Bumi Nabung, Lampung Tengah, ditangkap oleh Bareskrim Polri pada Kamis (16/1/2024) terkait kasus penipuan yang menggunakan teknologi deepfake untuk menipu masyarakat.
Modus operandi yang digunakan adalah dengan mengedit wajah pejabat negara menggunakan video deepfake untuk meyakinkan korban agar mentransfer uang dengan janji bantuan sosial.
Direktur Tindak Pidana Siber (Tipidsiber) Bareskrim Polri, Brigjen Himawan Bayu Aji, menjelaskan bahwa AMA memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) untuk menduplikasi wajah sejumlah pejabat negara seperti Presiden RI Prabowo Subianto, Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Video deepfake yang disebarluaskan di media sosial seolah-olah menunjukkan pejabat tersebut menawarkan bantuan sosial kepada masyarakat.
Namun, untuk menerima bantuan tersebut, korban diminta untuk mentransfer sejumlah uang ke nomor rekening yang disediakan oleh tersangka. Dalam video tersebut, AMA juga mencantumkan nomor WhatsApp untuk memudahkan korban menghubungi dirinya.
“Tersangka berperan mengunggah video deepfake dan menambahkan caption serta nomor telepon di akun media sosialnya. Dari sini, ia berhasil memperoleh keuntungan dengan memanfaatkan kepercayaan masyarakat,” jelas Brigjen Himawan Bayu Aji pada Jumat (24/1/2025).
Setelah korban menghubungi tersangka, mereka diminta untuk mengisi formulir pendaftaran dan mentransfer uang agar bantuan sosial bisa diterima.
AMA melakukan aksinya dengan bantuan seorang rekannya berinisial FA, yang kini masih buron. FA bertugas untuk mengedit video deepfake tersebut, menjadikannya alat yang efektif dalam menipu.
Dari hasil penyelidikan sementara, tercatat ada 11 orang yang menjadi korban penipuan ini dengan total kerugian mencapai Rp30 juta.
Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, AMA dijerat dengan Undang-Undang ITE dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara dan denda hingga Rp12 miliar.
Selain itu, ia juga dijerat dengan Pasal 378 tentang Penipuan, dengan ancaman pidana penjara maksimal empat tahun atau denda hingga Rp500 juta.
Kasus ini menjadi peringatan penting akan penyalahgunaan teknologi digital, yang dapat dimanfaatkan untuk merugikan orang lain.
Pihak berwenang pun terus mengingatkan masyarakat agar lebih berhati-hati dalam menerima informasi dan tawaran bantuan yang tidak jelas sumbernya.