Media90 (media.gatsu90rentcar.com) – Pengadilan Negeri Jakarta Utara baru-baru ini mengeluarkan izin pernikahan bagi pasangan beda agama, seorang muslim dan seorang Kristen.
Keputusan ini telah menimbulkan perbedaan pendapat dari berbagai kalangan.
Dalam konteks ini, Ketua PBNU, KH Prof Moh Mukri, mengungkapkan bahwa ajaran Islam melarang pernikahan beda agama, terutama bagi perempuan.
Menurutnya, seorang perempuan muslim tidak boleh menikah dengan laki-laki di luar Islam.
Namun, menurut KH Prof Moh Mukri, terdapat ayat dalam Al-Quran yang memperbolehkan seorang laki-laki muslim menikahi seorang wanita berbeda agama.
Namun, bukan sembarang wanita, hanya perempuan ahli kitab yang dapat dinikahi oleh laki-laki muslim. Hal ini merujuk pada Surat Al-Ma’idah Ayat 5 yang menyatakan: “Dan dihalalkan bagimu menikahi perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu.”
Dengan demikian, menurut KH Prof Moh Mukri, menurut hukum Islam, seorang laki-laki muslim diperbolehkan menikahi perempuan ahli kitab.
Pendapat ini juga diterima oleh empat mazhab fikih Islam. Namun, tidak ada ayat dalam Al-Quran yang membolehkan perempuan muslim menikah dengan laki-laki ahli kitab.
Namun, di Indonesia, pernikahan diatur oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 sebagai pengganti UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Namun, undang-undang ini tidak mengatur secara khusus pernikahan beda agama.
Tidak ada penjelasan mengenai mekanisme pelaksanaan pernikahan pasangan beda agama.
Oleh karena itu, secara otomatis pengadilan agama tidak dapat memfasilitasi pernikahan semacam itu.
Meskipun begitu, tidak ada pasal atau ayat dalam undang-undang tersebut yang dengan tegas melarang pasangan beda agama untuk menikah.
Hanya disebutkan dalam Pasal 8 huruf f bahwa perkawinan dilarang jika memiliki hubungan yang bertentangan dengan agama atau peraturan yang berlaku.
Meskipun pengadilan agama tidak dapat memfasilitasi pernikahan beda agama, pernikahan semacam itu tetap tercatat dalam catatan sipil.
Ini berarti bahwa masyarakat tidak perlu khawatir tidak tercatat dan diakui sebagai warga negara.
UU Nomor 23 Tahun 2016 tentang Administrasi Kependudukan menyatakan bahwa perkawinan yang tercatat adalah perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan dan harus dilaporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana di tempat perkawinan dilangsungkan.
Hal ini juga sejalan dengan UU Perkawinan yang menyebutkan bahwa setiap perkawinan harus dicatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam Pasal 2 UU Perkawinan, disebutkan bahwa perkawinan dianggap sah jika dilakukan sesuai dengan hukum agama dan kepercayaan masing-masing.
Oleh karena itu, meskipun terdapat perbedaan pandangan antara ajaran agama dan undang-undang, pernikahan beda agama tetap diakui secara hukum di Indonesia.