Media90 – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung resmi menetapkan lima orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait pengadaan dan pemasangan jaringan pipa distribusi sistem pompa penyediaan air minum (SPAM) di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Way Rilau Bandar Lampung.
Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Lampung, Muhammad Amin, mengungkapkan bahwa kelima tersangka yang telah ditetapkan yaitu:
- DS, sebagai pemilik pekerjaan (beneficial owner) PT Kartika Ekayasa
- SP, yang diduga memanipulasi dokumen penawaran PT Kartika Ekayasa
- S, menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di PDAM Way Rilau
- AH, Kepala Cabang PT Kartika Ekayasa
- SR, Kepala Bagian Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) Bandar Lampung tahun 2019 serta anggota kelompok kerja (Pokja) yang mengkondisikan lelang dan meloloskan PT Kartika Ekayasa sebagai pemenang tender
“Dari kelima tersangka tersebut, empat orang sudah ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Way Hui Bandar Lampung selama 20 hari ke depan,” ujar Muhammad Amin dalam jumpa pers.
Sementara itu, DS yang merupakan pemilik PT Kartika Ekayasa, belum hadir memenuhi panggilan sebagai saksi karena sedang menjalani pengobatan di luar kota.
Penetapan tersangka ini merupakan hasil dari penyelidikan intensif oleh Tim Penyidik Tindak Pidana Khusus Kejati Lampung.
Sejak dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan Nomor Print – 01 / L.8 / Fd / 04 / 2024 pada 2 April 2024, tim penyidik telah menemukan dua alat bukti yang cukup kuat, memeriksa sekitar 40 saksi dan tiga ahli, serta menyita barang bukti terkait tindak pidana ini.
Kasus ini berawal dari kegiatan Pengadaan dan Pemasangan Jaringan Pipa Distribusi Sistem Pompa SPAM Bandar Lampung Tahun 2019 di PDAM Way Rilau, yang dilakukan berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2017.
Proyek ini memiliki pagu anggaran sebesar Rp87,1 miliar yang bersumber dari penyertaan modal APBD Pemkot Bandar Lampung tahun anggaran 2018.
PT Kartika Ekayasa terpilih sebagai pemenang tender dengan nilai kontrak Rp71,9 miliar, dan surat perjanjian kontrak ditandatangani pada 23 Desember 2019.
Namun, dalam proses pelaksanaannya, ditemukan adanya pengkondisian terhadap pemenang tender, manipulasi dokumen penawaran, serta pelaksanaan pekerjaan yang tidak sesuai kontrak.
Hal ini menyebabkan kekurangan volume pekerjaan dan kerugian negara sebesar Rp19,8 miliar. Tim penyidik terus melakukan pendalaman kasus untuk menangani lebih lanjut dugaan korupsi ini.