Media90 (media.gatsu90rentcar.com) – Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati memastikan bahwa cuaca panas yang belakangan melanda Indonesia bukanlah akibat dari gelombang panas.
Berdasarkan karakteristik dan indikator statistik pengamatan suhu yang dilakukan oleh BMKG, fenomena cuaca panas tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai gelombang panas.
Saat ini, gelombang panas memang tengah melanda berbagai negara di Asia, seperti Thailand yang mencatat suhu maksimum hingga 52°C, serta Kamboja dengan suhu udara mencapai level tertinggi dalam 170 tahun terakhir, yakni 43°C minggu ini.
“Namun, khusus untuk Indonesia, yang terjadi bukanlah gelombang panas, melainkan suhu panas seperti pada umumnya,” ungkap Dwikorita dalam keterangan resmi pada Senin, 6 Mei 2024.
Dwikorita menjelaskan bahwa kondisi maritim di sekitar Indonesia, dengan laut yang hangat dan topografi pegunungan, mengakibatkan naiknya gerakan udara.
Ini memungkinkan terjadinya penyanggaan atau buffer terhadap kenaikan temperatur secara ekstrem dengan adanya hujan yang mendinginkan permukaan secara periodik.
Hal ini adalah penyebab tidak terjadinya gelombang panas di wilayah kepulauan Indonesia.
Suhu panas yang terjadi merupakan akibat dari pemanasan permukaan sebagai dampak dari berkurangnya pembentukan awan dan curah hujan.
Ini merupakan bagian dari peralihan musim, yang umum terjadi saat musim hujan beralih ke musim kemarau.
Ardhasena Sopaheluwakan, Deputi Bidang Klimatologi BMKG, menyampaikan bahwa suhu udara maksimum tertinggi di Indonesia selama seminggu terakhir tercatat terjadi di Palu, mencapai 37,8°C pada 23 April lalu. Beberapa wilayah lainnya juga mencatat suhu di atas 36,5°C.
Berdasarkan hasil pantauan jaringan pengamatan BMKG hingga awal Mei 2024, baru sekitar 8% wilayah Indonesia telah memasuki musim kemarau. Sementara sekitar 76% wilayah lainnya masih berada dalam periode musim hujan.
Fachri Radjab, Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim, menjelaskan bahwa gelombang panas juga melanda sejumlah negara di Asia, seperti Vietnam dan Filipina.
Dia menyebut tiga faktor yang menjadi penyebab, termasuk gerakan semu matahari, anomali iklim El Nino 2023/2024, dan pengaruh pemanasan global.
Meskipun demikian, Fachri berharap situasi ekstrem ini tidak terjadi di Indonesia.