Media90 – Setelah mengalami penggusuran paksa oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung, sejumlah warga di Desa Sabah Balau, Tanjung Bintang, Lampung Selatan, kini merasa kebingungan mengenai tempat tinggal mereka selanjutnya.
Hal ini disebabkan oleh kompensasi yang dianggap tidak layak, yakni hanya Rp2,5 juta per kepala keluarga.
Salah satu warga, Nur Alwi, mengungkapkan kekecewaannya terhadap jumlah ganti rugi yang diberikan pemerintah.
Menurutnya, nilai tersebut sama sekali tidak mencerminkan kepedulian terhadap warga yang telah lama bermukim di kawasan tersebut.
“Kami sebagai rakyat ini bingung, karena tidak ada penggantian pasti dari pemerintah. Memang ada penawaran, tapi hanya sekitar Rp2,5 juta. Ini penghinaan bagi kami, seperti dianggap binatang,” ujar Nur Alwi dengan nada kecewa.
Nur Alwi juga menekankan bahwa pemerintah seharusnya melakukan musyawarah terlebih dahulu dengan warga sebelum mengambil tindakan penggusuran.
Ia mengklaim memiliki dokumen kepemilikan yang sah atas tanahnya, yang dibeli dari pihak lain.
“Saya tidak tahu awal-awalnya tanah ini bagaimana statusnya, karena saya membelinya dari orang lain dan memiliki surat-surat yang lengkap. Rumah ini dibangun dengan uang sendiri, bukan gratisan, jadi pemerintah seharusnya memahami kondisi warga,” lanjutnya.
Keluhan serupa juga diungkapkan oleh Isnaini, yang kini kebingungan mencari tempat tinggal setelah rumahnya dihancurkan.
Ia mengaku tidak memiliki dana untuk mencari tempat tinggal sementara atau mengontrak rumah baru.
“Saat ini saya masih bingung dan belum ada rencana mau tinggal di mana. Saya juga tidak mengambil uang kompensasi yang diberikan Pemprov Lampung,” kata Isnaini.
Penggusuran Memicu Ketegangan
Sebelumnya, Pemprov Lampung mulai melakukan penertiban lahan di Desa Sabah Balau, Tanjung Bintang, Lampung Selatan, serta di Kelurahan Sukarame Baru, Kecamatan Sukarame, Bandar Lampung, pada Rabu (12/2/2025).
Wilayah ini dihuni oleh sekitar 42 warga yang tidak memiliki hak kepemilikan resmi atas tanah tersebut.
Proses penggusuran ini mendapat perlawanan dari warga setempat, yang berujung pada bentrokan dengan aparat gabungan yang terdiri dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Polda Lampung, serta Brimob.
Beberapa warga bahkan mengalami histeria dan pingsan akibat tidak mampu menahan kesedihan dan emosi mereka.
Dalam proses eksekusi, Pemprov Lampung mengerahkan empat unit alat berat yang terdiri dari tiga unit ekskavator dan satu unit buldozer untuk meratakan bangunan di lokasi tersebut.
Latar Belakang Penggusuran
Berdasarkan data dari Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Lampung, lahan yang ditertibkan merupakan aset milik Pemprov Lampung yang diperoleh dari PTP X.
Sertifikat kepemilikan lahan tersebut diterbitkan oleh Kantor ATR/BPN Lampung Selatan dan Kantor ATR/BPN Bandar Lampung.
Pada tahun 2012, Pemprov Lampung mengaku telah melakukan sosialisasi serta mediasi dengan warga setempat.
Saat itu, hanya terdapat tiga bangunan permanen, beberapa bangunan semi permanen, serta lima rumah sederhana yang tidak memiliki bukti kepemilikan.
Namun, warga tetap menguasai lahan tersebut dan terus melakukan jual beli serta membangun lebih banyak rumah di atasnya.
Penggusuran ini menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Warga yang merasa dirugikan meminta solusi yang lebih manusiawi dari pemerintah, sementara Pemprov Lampung berpegang pada legalitas kepemilikan aset daerah.