BERITA

Menulis: Jejak Abadi yang Tak Terhapus Waktu

4
×

Menulis: Jejak Abadi yang Tak Terhapus Waktu

Sebarkan artikel ini
Menulis, Memang Bekerja untuk Keabadian
Menulis, Memang Bekerja untuk Keabadian

Media90 – Kalimat Mauriac ini membuka perspektif menarik tentang peran seorang penjual buku, yang tampaknya sekadar memperjualbelikan benda-benda cetak.

Namun di baliknya, penjual buku sebenarnya memperdagangkan impian—membawa pembaca menuju dunia yang jauh dari realitas, penuh dengan kebijaksanaan, keajaiban, dan petualangan imajinatif.

Sepanjang sejarah, tulisan dan pengetahuan yang terkandung dalam buku telah menjadi penyimpan memori kolektif umat manusia.

Evolusi dunia penulisan mirip dengan evolusi biologis, di mana ketika gen tidak mampu menyimpan semua informasi yang dibutuhkan untuk bertahan hidup, manusia menciptakan sistem penyimpanan eksternal—mulai dari lukisan di gua hingga karya sastra yang penuh dengan ide dan gagasan.

Seiring waktu, otak manusia mencapai batas penyimpanan informasi, dan kita belajar menyimpan pengetahuan di luar diri kita.

Sekitar 10.000 tahun lalu, manusia mulai menciptakan apa yang dapat dianggap sebagai memori bersama.

Perpustakaan adalah bentuk fisik dari memori kolektif ini. Buku-buku di dalamnya, meski terbuat dari bahan sederhana seperti kertas yang berasal dari pohon, memiliki kekuatan untuk mengabadikan pikiran manusia, bahkan melampaui batas waktu.

Baca Juga:  Ella Siti Nuryamah-Azwar Hadi Siap Melawan Kotak Kosong di Pilkada Lampung Timur Berkat Rekomendasi PDIP

Ketika kita membaca, kita terhubung dengan pikiran orang yang mungkin telah hidup berabad-abad sebelumnya.

Seperti yang dikatakan Mauriac, membaca adalah seperti bermimpi dengan mata terbuka, sebuah pengalaman yang mempertemukan masa kini dengan masa lalu dalam keheningan.

Penulisan dan buku adalah inovasi terbesar umat manusia. Mereka menyatukan pemikiran, pengalaman, dan pengetahuan dari berbagai generasi.

Buku melintasi batas waktu dan ruang, memungkinkan orang-orang dari era yang berbeda untuk berkomunikasi, bahkan jika mereka tidak pernah saling mengenal.

Dulu, tulisan dicatat di atas tanah liat, menggunakan huruf paku di Timur Dekat sekitar 5.000 tahun lalu. Tujuan awalnya sederhana, untuk mencatat transaksi perdagangan, hukum, atau doa.

Namun, perlahan-lahan, tulisan berkembang menjadi alat untuk menyimpan dan menyebarkan pemikiran filosofis, astronomi, dan berbagai bidang pengetahuan lainnya.

Pada milenium berikutnya, media tulis berkembang dari tanah liat, lilin, kulit kayu, hingga kertas yang ditemukan di Tiongkok. Namun, hanya ada satu salinan untuk setiap karya, dan pembacanya terbatas.

Baca Juga:  Kesiapan Polisi Hadapi Libur Lebaran: 90 Titik Jalan Rawan di Lampung, 4.383 Personil Disiagakan

Revolusi sesungguhnya terjadi ketika teknologi pencetakan ditemukan di Tiongkok antara abad ke-2 dan ke-6.

Teknologi ini baru mencapai Eropa pada abad ke-15, tepatnya dengan penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg. Dampaknya luar biasa—sebelum penemuan mesin cetak, hanya ada beberapa lusin buku di Eropa.

Namun, 50 tahun kemudian, sekitar tahun 1500, sudah terdapat lebih dari sepuluh juta buku cetak. Buku kini dapat diakses oleh siapa pun yang mampu membaca, menciptakan revolusi dalam pembelajaran dan penyebaran pengetahuan.

Dalam beberapa dekade terakhir, buku menjadi semakin murah dan mudah diakses, terutama dengan munculnya buku-buku bersampul lunak.

Dengan harga terjangkau, siapa pun bisa belajar tentang sejarah, filsafat, sains, atau bahkan memanjakan diri dalam cerita fiksi.

Buku menjadi benih pengetahuan yang bisa tumbuh kapan saja dan di mana saja, menyimpan gagasan-gagasan besar yang bisa hidup kembali berabad-abad setelah ditulis.

Baca Juga:  Hasil Telak: Prabowo-Gibran Raih Kemenangan Gemilang 70,16% di Lampung, Hasil Hitung Cepat Bappilu Gerindra

Namun, di tengah melimpahnya informasi yang tersimpan dalam jutaan buku, tantangannya adalah bagaimana memilih buku-buku yang layak dibaca.

Meskipun informasi dalam buku tidak berubah, pengetahuan manusia terus berkembang, sehingga pembaca harus selektif dan bijaksana dalam menavigasi lautan literatur yang terus tumbuh.

Perpustakaan, sebagai pusat penyimpanan pengetahuan kolektif, adalah harta karun peradaban. Perpustakaan tidak hanya menjadi gudang informasi, tetapi juga tempat di mana ide-ide terbesar manusia dipelihara dan dilestarikan untuk generasi mendatang.

Sayangnya, di banyak tempat, termasuk di negara kita, perpustakaan masih bergantung pada dukungan sukarela dan perkembangan yang lambat.

Kesejahteraan peradaban dapat diukur dari bagaimana kita mendukung perpustakaan dan menghargai buku. Buku adalah jendela menuju keabadian—setiap halaman yang kita baca adalah langkah kecil menuju pengetahuan yang tak terhingga.

Penjual buku, meski tampak hanya menjual benda mati, sebenarnya menjual impian dan petualangan yang tak ternilai bagi jiwa manusia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *