BERITA

Curahan Hati Pekerja Swasta: Gaji Dipotong 2,5% untuk Iuran Tapera, Kenapa Harus Rakyat yang Ikut Menanggung?

166
×

Curahan Hati Pekerja Swasta: Gaji Dipotong 2,5% untuk Iuran Tapera, Kenapa Harus Rakyat yang Ikut Menanggung?

Sebarkan artikel ini
Keluh Kesah Pekerja Swasta Gaji Bakal Dipotong Iuran Tapera 2,5%, Kenapa Rakyat Harus Ikut Patungan
Keluh Kesah Pekerja Swasta Gaji Bakal Dipotong Iuran Tapera 2,5%, Kenapa Rakyat Harus Ikut Patungan

Media90 – Reza (34) merasa sangat kesal ketika membaca berita bahwa gajinya akan dipotong sekitar 2,5 persen untuk iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Tambahan potongan ini hanya akan memperpanjang daftar potongan upah yang sudah cukup banyak setiap bulannya.

Upah Reza sudah dipotong untuk tiga hal utama: pajak penghasilan, BPJS Kesehatan, dan BPJS Ketenagakerjaan. Rencana iuran Tapera jelas hanya akan memberatkan beban finansial Reza lebih lanjut.

Apalagi, Reza juga harus membayar cicilan Kredit Pemilikan Rumah sebesar Rp4,5 juta setiap bulan. Sementara itu, selama lima tahun terakhir, upahnya tetap stagnan dan tidak naik.

“Sebagai pekerja swasta yang sudah punya rumah, saya tidak mendapat manfaat langsung dari Tapera. Kenapa gaji kami harus dipotong 2,5 persen setiap bulan untuk membiayai subsidi rumah orang lain yang seharusnya menjadi tanggungan negara? Kenapa rakyat harus ikut patungan?” ujar Reza, seorang pekerja swasta di Jakarta, Selasa (4/6/2024).

Keluhan serupa disampaikan oleh Chitra. Potongan 2,5 persen untuk iuran Tapera terlalu besar baginya.

Menurutnya, kebutuhan setiap orang berbeda-beda, dan alih-alih dipotong untuk iuran Tapera yang tidak pasti, lebih baik uang tersebut disimpan untuk dana darurat.

Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat, setiap pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan minimal sebesar upah minimum wajib menjadi peserta Tapera.

Mereka harus membayar simpanan setiap bulan sesuai waktu yang ditetapkan oleh Badan Pengelola (BP) Tapera.

Potongan iuran ini sebesar 3%, yang merupakan kombinasi dari kontribusi pekerja dan pemberi kerja. Pekerja akan mengiur 2,5%, sedangkan pemberi kerja 0,5%. Sementara pekerja mandiri harus membayar sendiri sebesar 3%.

Baca Juga:  Universitas Teknokrat Indonesia Mempersembahkan Kajian Terbaik ASEAN: UKMI Ar Rahman PTS! Milah Smart Membagikan Tips Sukses untuk Para Mahasiswa

Penyebab kekesalan Reza adalah karena manfaat Tapera tidak bisa langsung dirasakan oleh seluruh peserta yang gajinya dipotong setiap bulan.

Ada syarat tertentu bagi penerima manfaat. Pasal 38 ayat 1b dan 1c Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 menyatakan bahwa manfaat Tapera diberikan kepada pekerja berpenghasilan rendah yang belum memiliki rumah.

Backlog Hunian dan Sulitnya Anak Muda Memiliki Rumah

BP Tapera menyatakan bahwa tujuan program ini adalah menghimpun dana murah jangka panjang untuk membiayai perumahan, sehingga peserta dapat memiliki rumah yang layak dan terjangkau.

Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko menyebutkan bahwa ada 9,9 juta warga Indonesia yang belum memiliki rumah, mengacu pada data dari Badan Pusat Statistik.

Masalah kesenjangan kepemilikan hunian ini diperkirakan akan semakin besar karena harga properti rata-rata naik 10%-15% per tahun, sementara kenaikan gaji pekerja tidak sebanding.

Dalam sebuah survei berjudul “Young adults and homeownership in Jakarta, Indonesia” oleh peneliti dari University of New South Wales, ditemukan dua hambatan utama yang menghalangi kaum muda dewasa di Jakarta untuk memiliki rumah: harga rumah yang tidak terjangkau dan pendapatan yang tidak cukup.

Baca Juga:  Kontraktor Bandar Lampung Ditahan oleh Kejari Lampung Tengah atas Dugaan Korupsi Proyek Jalan Senilai Rp185,5 Juta

Terbatasnya pasokan tanah dan perumahan serta pertumbuhan jumlah penduduk membuat harga rumah di Jakarta melejit. Situasi ini membuat kepemilikan rumah semakin sulit.

Pada 2019, tingkat kepemilikan rumah di Indonesia rata-rata mencapai 80,07%, namun di Jakarta hanya 48,33%.

Ini adalah rasio terendah dibandingkan kota lain seperti Banten dan Jawa Barat yang memiliki persentase di atas 80%.

Reza terpaksa membeli rumah di pinggiran Jakarta, karena harga rumah di pusat ibukota sudah tidak terjangkau.

Meski itu berarti dia harus menempuh jarak sekitar 25 kilometer dari rumah ke kantor. “Di Tangerang Selatan yang paling dekat dengan transportasi umum, waktu itu sempat survei di Pondok Cabe, sudah Rp1 miliaran untuk rumah yang dapat akses transportasi umum. Makanya saya pilih Cinangka, Sawangan, Depok yang memang harganya lebih murah, meski agak jauh dari akses transportasi umum,” cerita Reza.

Menurut Perencana Keuangan Safir Senduk, situasi ini membuat makin banyak orang tidak ingin memiliki hunian sendiri. Mereka cenderung memilih untuk menyewa.

“Anak muda zaman sekarang realistis karena memang sewa lebih murah dibandingkan harus membeli. Hal ini juga berlaku terhadap tempat tinggal,” jelas Safir.

Bisakah Tapera Menjadi Solusi Hunian Anak Muda?

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menyatakan bahwa iuran Tapera belum tentu efektif mengatasi masalah backlog perumahan di Indonesia.

Meskipun kewajiban iuran ini berjalan sejak 2018, belum ada bukti bahwa masalah backlog terselesaikan.

Baca Juga:  Dibantah Pemkot Bandar Lampung, Laporan Penyelewengan APBD 2023 Masuk Kejagung RI

Bahkan, meski Bank Tabungan Negara (BTN) mendapat suntikan modal besar pada 2023 untuk membantu kepemilikan rumah, backlog masih tinggi.

Manfaat bagi peserta yang tidak mengambil program Tapera juga minim. Peserta yang tidak mengambil rumah pertama akan dirugikan jika tingkat pengembalian tidak optimal.

Huda menyarankan agar dana iuran Tapera lebih baik diinvestasikan sendiri oleh peserta untuk menghindari biaya peluang yang hilang.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) sepakat menolak aturan Tapera.

Mereka mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang implementasinya. Mereka berharap pemerintah lebih mengoptimalkan dana BPJS Ketenagakerjaan untuk program MLT perumahan.

Presiden KSBSI, Elly Rosita Silaban, juga meminta agar Pasal 7 diubah menjadi sukarela, karena Tapera tidak menjamin cukupnya upah buruh untuk mendapatkan rumah saat pensiun.

Psikolog klinis Veronica Adesla menjelaskan bahwa menabung lebih mudah bagi orang yang memiliki tujuan dan prioritas tertentu.

Menabung bisa sulit jika tujuan tersebut bukan prioritas utama, dan hanya bisa dilakukan setelah kebutuhan pokok terpenuhi.

Menabung untuk hal-hal seperti rumah membutuhkan pertimbangan yang matang karena biayanya besar.

Namun, orang yang sudah berkeinginan membeli rumah tidak akan mudah goyah meskipun ada atau tidaknya program Tapera.

Veronica juga menyatakan bahwa wajar jika masyarakat memiliki banyak pertanyaan tentang manfaat dan penggunaan dana Tapera.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *