Media90 – Dalam acara Peringatan Satu Abad Kelahiran Pramoedya Ananta Toer di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, pada 8 Februari 2025, Indonesianis asal Australia, Max Lane, melontarkan pertanyaan kritis: “Mengapa sastra tidak diajarkan di sekolah di Indonesia?” Max, yang dikenal sebagai penerjemah pertama Tetralogi Pulau Buru ke dalam bahasa Inggris, menyoroti fakta bahwa Indonesia menjadi satu-satunya negara di dunia di mana sastra nasional tidak diajarkan dan didiskusikan secara sistematis di sekolah.
Di negara-negara lain, termasuk Asia, Eropa, dan Amerika, karya sastra menjadi bagian penting dalam pendidikan.
Bahkan, di universitas-universitas Amerika, This Earth of Mankind—terjemahan Bumi Manusia—telah menjadi bacaan wajib mahasiswa selama lebih dari 40 tahun.
Namun, di Indonesia, karya-karya Pram dan sastra nasional lainnya justru kerap diabaikan dalam kurikulum pendidikan.
Minimnya Perhatian terhadap Sastra Nasional
Max Lane juga menyoroti sikap pasif sastrawan dan intelektual Indonesia terhadap posisi sastra dalam sistem pendidikan.
Ia mempertanyakan mengapa tidak ada protes dari kalangan sastrawan atau organisasi intelektual mengenai pengabaian sastra nasional.
Menurutnya, kecintaan terhadap sastra dan bangsa sulit terwujud jika ketertarikan membaca sastra tidak dibangkitkan sejak dini.
“Apakah sastrawan dan intelektual Indonesia tidak sayang pada sastra? Tidak sayang pada anak? Atau jangan-jangan tidak sayang pada keduanya?” ujarnya dengan nada tajam.
Namun, Max mengapresiasi petisi dari sembilan organisasi gerakan masyarakat yang mendorong pemerintah untuk memasukkan Sastra Nasional Indonesia sebagai mata pelajaran wajib di tingkat SMP dan SMA.
Organisasi yang terlibat dalam petisi ini antara lain SPRI, KASBI, KPRI, KPR, KSN, SPK, SEMPRO, Solidaritas.net, dan Koreksi.org.
Menurutnya, langkah ini penting tetapi masih perlu diperkuat dengan inisiatif lebih luas, seperti penyelenggaraan kelas atau diskusi sastra secara mandiri di berbagai komunitas.
Membawa Sastra ke Masyarakat Luas
Reza Muharam, aktivis International People’s Tribunal on 1965 Crimes Against Humanity in Indonesia (IPT 1965), menambahkan bahwa karya-karya Pram lebih banyak dibaca oleh kalangan menengah, sedangkan akses masyarakat bawah masih terbatas.
Oleh karena itu, ia mengusulkan pembentukan kelompok-kelompok baca di berbagai daerah, termasuk kampung, pabrik, dan pelosok negeri.
Tujuannya adalah untuk menjadikan literasi sastra sebagai bagian dari proyek nasional dalam rangka mencerdaskan bangsa.
Pesantren dan Sastra Pram
Sementara itu, Roy Mutardho, pendiri Pesantren Ekologis Misykat Al-Anwar, berbagi pengalaman bagaimana ia telah mewajibkan santrinya membaca karya-karya Pram.
Selain itu, para santri juga diperkenalkan dengan literatur seperti Revolusi Prancis dan teks-teks Ghassan Kanafani yang membahas perjuangan rakyat Palestina.
Santri tidak hanya membaca, tetapi juga berdiskusi dan mempresentasikan hasil bacaan mereka agar memperoleh perspektif yang lebih luas tentang dunia.
Roy bercerita bahwa ia sendiri mulai membaca Pram sejak duduk di bangku SMA di Yogyakarta. Meski dulu sempat dihukum karena lebih memilih membaca Pram daripada menghafal Al-Qur’an, kini ia tidak menyesali keputusannya.
Ia juga mendukung petisi agar sastra nasional menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah.
“Ini adalah langkah kecil menuju Indonesia yang lebih maju. Setidaknya, generasi kita tidak bodoh-bodoh amat,” pungkasnya, disambut tawa para peserta acara.
Kesimpulan
Peringatan satu abad Pramoedya Ananta Toer menjadi momentum refleksi bagi dunia pendidikan di Indonesia.
Pertanyaan yang diajukan Max Lane seharusnya menjadi pemicu diskusi lebih luas tentang pentingnya memasukkan sastra nasional dalam kurikulum sekolah.
Jika negara-negara lain menjadikan sastra sebagai bagian penting dari pendidikan, mengapa Indonesia tidak? Langkah-langkah seperti petisi, kelompok baca, dan inisiatif di pesantren menjadi harapan bahwa sastra nasional akan kembali menemukan tempatnya dalam dunia pendidikan Indonesia.